Apakah kalian pernah menonton film Her? Film bergenre drama fiksi ilmiah yang dibintangi oleh Jaoquin Phoenis dan Scarlett Johansson ini (By the way, film ini sangat saya rekomendasikan), bercerita tentang seorang laki-laki kesepian yang jatuh cinta pada sistem kecerdasan buatan atau yang biasa disebut dengan Artificial Intelegent (AI). Pada tahun film ini dirilis, yaitu 2013, AI masih terdengar asing ditelinga atau bahkan banyak di antara kita tak akan menyangka jika AI akan terwujud menjadi nyata.
Di tahun ini, AI menjadi semakin populer karena telah menjadi alat yang memudahkan pekerjaan manusia. Mulai dari membantu para pelajar dalam mengerjakan tugas, hingga memberikan jalan keluar dalam (hampir) semua permasalahan. Tak heran jika banyak orang yang sudah menjadikan AI seperti asisten pribadi.
Sebagai contoh, AI yang sering saya gunakan sehari-hari adalah ChatGPT. ChatGPT merupakan salah satu kecerdasan buatan yang sistem kerjanya berupa percakapan. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengetik apapun yang kita butuhkan atau yang ingin kita tanyakan (saya garis bawahi: APAPUN), maka ChatGPT akan dengan sangat cepat dan detail menjawab pertanyaan yang kita lontarkan.
Dilansir dari ChatGPT mampu menyelesaikan soal matematika, membuat Jokes, hingga menyajikan rumus Excel. Dari pengalaman saya sendiri, ChatGPT mampu membantu saya menyelesaikan masalah seperti mengoreksi paragraf, memberikan ide dalam hal pemasaran, membantu dalam memberikan ide cerita fiksi yang saya buat, memberikan ide maupun saran plot cerita, bahkan membantu dalam menerjemahkan artikel atau jurnal dalam Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia maupun sebaliknya, bahkan mampu mengoreksi dan memperbaiki grammar, dimana hal ini belum sepenuhnya bisa dilakukan oleh google translate (Yang juga merupakan kecerdasan buatan). AI bahkan bisa memudahkan kita mencari jawaban lebih cepat dan lengkap dibandingkan mesin pencarian yang sering kita gunakan sehari-hari.
Tapi, sadarkah jika kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh AI merupakan ancaman yang serius? Dalam sebuah penelitian yang berjudul “Human Trust in Artificial Intellegence”, Glikson dan Wooley berpendapat bahwa AI yang responsif, adaptif dan sangat membantu pekerjaan manusia ini malah berpotensi besar menjadi sumber ancaman yang siginifikan jika tidak dikelola dengan baik.
Semakin banyak manfaat yang diberikan oleh AI kepada manusia, AI perlahan semakin erat dengan kehidupan manusia. Dari hal ini juga menimbulkan pertanyaan besar, apakah AI bisa menggeser pekerjaan manusia di masa depan? Untuk saat ini (Dari pengalaman saya), masih terdapat banyak celah atau kekurangan yang dimiliki oleh AI yang sering saya gunakan, di antaranya, AI tidak memiliki perasaan seperti yang dimiliki oleh manusia, AI juga memiliki keterbatasan dalam memberikan ide juga tidak begitu sempurna dalam memberikan saran dalam pembuatan paragraf. Kepintaran manusia masih dibutuhkan di dalamnya. Namun, tidak menutup kemungkinan AI semakin diinovasikan untuk menutup celah-celah yang tidak dapat ia lakukan di masa sekarang, mengingat AI dirancang memang untuk menyesuaikan kecerdasan manusia.
Pada akhirnya, manusia harus mampu menyesuaikan langkah perubahan dan harus mampu beradaptasi di era yang berkembang semakin cepat. Manusia harus mampu memiliki keterampilan atau nilai tambah dan tidak hanya diam di tempat. Kecerdasan buatan tidak serta merta menjadi ancaman besar karena pada dasarnya kecerdasan buatan masih membutuhkan manusia sebagai pemegang kendali.